Kulambaikan beberapa bagian samping sudut indahku dan menyapa sudut Kota Wonosari. Dengan pelan-pelan bapak tua yang menuntun ku mengayuhkan pedalku, aku menikmati pagi yang teramat sejuk itu. Diatas ku tatapkan bola mataku pada biruan kekuning-kuningan langit, terasa sekali pagi ini bila mendung akan meraba sudut bumi. Kususuri beberapa jalan, Tak banyak anak sekolah yang memanggil kami, Sampai disatu sisi kami berhenti.
“Lelah sekali pagi ini” kata Bapak Rujak
“Ya.. benar sekali” kata Bu Bakso
Disinilah Bapak Rujak tukang rujak dan Ibu Bakso tukang bakso merampas uang-uang para pembeli dengan mengumandangkan suara merdu mereka guna menambah pundi-pundi isi kantong mereka.
Aku, gerobak yang digunakan untuk membanting tulang belulangnya Pak Rujak dan Dia, gerobak yang digunakan untuk membanting apa yang diupayakan Bu Bakso.
Waktu bel istirahat terdengar sangat nyaring dari sekolah dasar yang berada dekat Taman Pemda Wonosari tersebut. Tak sedikit anak-anak yang melepas hawa lapar dan dahaganya tersebut disitu. Bakso, siomay, bakpia, kue donat, soto, es campur, dan aku pun menjadi pilihan beberapa anak yang berjajan disamping taman tersebut. Tak sedikit pula bapak-bapak dan ibu-ibu yang mengenakana seragam kerja mereka menyapa kami. Aku tersenyum pada gerobak bakso.
“Hari ini akan menjadi peluang besar mendapatkan uang untukmu” kataku pada gerobak bakso sembari memandang gerobak bakso
“Udara memang terlihat redup, walau pagi cuaca kali ini telah diutus Tuhan untuk mengirimkan rezeki pada aku dan bosku” jawab gerobak bakso
Dalam benakku aku menyelipkan perasaan yang buruk. Jelas saja orang-orang lebih memilih bakso pada saat cuaca tak mendukung rujak sebagai pilihan mereka. Aku berusaha menarik perhatian pengunjung Taman Pemda Wonosari dengan bel-bel lucu namun tetap saja mereka memilih bakso sebagai ambatan hatinya. Bapak Rujak pun tak pernah putus asa sembari memandanginya yang memandang Bu Bakso yang melayani pengunjungnya aku mencetus beberapa jalan agar kami bisa menarik hati pengunjung.
“Lalu kapan gantianku?” tanyaku pada Gerobak Bakso
“Mana ku tau? Tuhan telah mengatur rejeki masing-masing orang” kata Gerobak Bakso dengan bijak
Jalan Bridjen Katamso mewarnai percakapan berbau kisruh kami. Bukan salah siapapun dalam konteks ini hanya saja wajar apa bila aku sebagai Gerobak Rujak yang dagangannya tak selaris Gerobak Bakso. Cemburu menjadi gemerlapan dihati Gerobak Rujak hari itu.
“Sial benar-benar sial pundi-pundi pengunjung taman memilih bakso pada hari ini, ku harap hari lain mereka berkenan hati untuk memilih ku sebagai akhir sampainya uang mereka” batin ku lirih
***
Suasana malam hari di Jalan Brigjen Katamso tidak lah sepi. Aku masih memikirkan cara bagaimana isi dalam kantong selebar ini dapat habis. Tama Pemda Wonosari tidaklah pernah sepi, mau malam, mau siang tetap saja. Deretan rapi Putjuk Merah bak Pohon Natal mini yang menarik dengan kombinasi merah, oranye, kuning, hijau muda dan hijau putjatnya... Nyaman dengan dibangunnya bangku-bangku beton untuk duduk-duduk dan santai bersama teman atau saudara, deretan rapi Putjuk Merah bak Pohon Natal mini yang menarik dengan kombinasi merah, oranye, kuning, hijau muda dan hijau putjatnya... Nyaman dengan dibangunnya bangku-bangku beton untuk duduk-duduk dan santai bersama teman atau saudara, inilah yang membuat banyak orang disana berekreasi atau hanya iseng-iseng saja.
Malam ini sudah terduga lagi bahwa orang-orang takkan meletakkan hatinya padaku. Dinginnya hari membuat mereka jauh dari keinginan untuk membeli rujak. Mungkin telah menjadi nasibku ini. Semenjak siang tadi aku menjauhkan iriku pada Gerobak Bakso aku hanya tak ingin kecemburuan ku menimbulkan sesuatu yang gila dan berdampak pada Taman yang berlokasi di Jalan Bridgjen Katamso ini. Pak Rujak pun memutuskan untuk mengahiri malamnya dengan masih membawa banyak buah-bauh segar nan harum. Aku hanya dapat terdiam, tawaku tak ada.. tak seperti hari ketika orang-orang berhaus-hausan mencariku. Harapanku masih mengelir dalam otak ini ku tau Pak Rujak memikirkan hal yang sama denganku bahkan mungkin jauh lebih dalam pria tua pekerja keras itu.
***
“Dung-Ding-Dung”
Begitulah kiraya suara bel yang dipasang Pak Rujak ketika kami pulang tak membawa hasil tadi malam. Pak Rujak tak memutuskan asanya untuk tetap menjual buah segar bagi peminatnya. Luarbiasa! Pagi benar aku didorongnya dari gang sempit yang berada di sudut Kota Wonosari. Kekagumanku padanya tak hanya pada kerja kerasnya namun kasih sayangnya padaku-sesosok gerobak kecil sungguh luabiasa. Pagi ini rencana Tuhan telah ku tunggu dengan penuh harapan aku berimpian bahwa Tuhan memberi keteduhan dalam hati masing-masing insannya. Sekaligus kami, para gerobak-gerobak dagangan pinggir jalan. Aku tak berdoa agar panas karena aku bukanlah pemain yang bermain curang walau aku sering cemburuan. Keputusanku menjauhi Gerobak Bakso ku urungkan. Aku melatih diri untuk Ikhlas, menerima rezeki yang terlemparkan pada setiap makhluk. Kupahami bahwa dia memang benar-benar jauh dariku, apalagi sifatnya yang sangat berbeda.
Sepinya jalan-jalan itu, Masjid yang berada tepat didepan Taman Pemda seakan menyapa kami untuk tak berputus asa. Sapaanku pada Gerobak Bakso telah terlontarkan tadi. Aku berada tepat disisi Gerobak Bakso dan kami salng tersenyum. Rasa banggaku padanya menyeketsa bahwa dia adalah makhluk mati sama seperti ku namun dia sangatlag lembut dan samgat percaya garis rezeki Tuhan. Aku benar-benar kagum!
“Bu.. 2 mangkok bu. Ga pake kol” kata salah satu pembeli pada Bu Bakso
“siapp!!” jawab Bu Bakso dengan riang
Aku pun semakin putus asa. Apalagi yang perlu kulakukan agar mereka tertarik padaku. Bimbang itu terjadi. Aku dan Pak Rujak telah mengupayakan semuanya mulai dari bel, hingga aku menambahkan cita rasa caramel didalam bumbu rujakku. Berlebihan bukan? Takdir!!!! Kebetulan hari itu hari Jum’at dimana kaum adam melaksanakan ibadah sholat jum’at tak terkecuali Pak Rujak. Segera, Pak Rujak meinggalkan aku dan dagangannya pergi ke Masjid Al-Ikhlas. Masjid itu terlihat ini jika dilihat dari sisi dimana orang bercengkrama di Taman Pemda. Terlihat jelas, bahwa pemerintah sengaja membangunnya seperti itu.
Gesekan sandal beberapa pejabat terdengar dalam cuping tak pastiku, ada juga beberapa pelajar yang memasuki masjid indah itu dengan seragam mereka. Da yang bertulis SMA N 1 WONOSARI ada juga yang bertulis SMKN 2 WONOSARI dan masih banyak lagi. Mereka terlihat tergesa-gesa dalam hatiku berkata “apakah tidak ada yang ingin menyegarkan pikirannya dengan membeli rujak berbalut caramel manisku? “ Ah gila!
Mendengar.. itulah yang sedang dan sering kulaksanakan. Namun tiba-tiba suara sepatu gadis SMA terdengar.
“Bu.. Rujaknya bu 15 bungkus” kata gadis itu
“Wah tapi tukangnya sedang sholat jum’at dek” kata Bu Bakso sambil mendekati gadis itu
Aku pun yang mendengarnya sungguh takjub, Tuhan telah mendengar apa yang menjadi harapan Pak Rujak dan aku. Namun dikala seperti ini, siapakah yang akan membungkuskan 15 buah rujak tersebut?
“Yaampun. Ibu jualan apa?” tanya gadis manis itu pada Bu Bakso
“Bakso dek.. enak deh gimana bakso aja?” tanya Bu Bakso
Kebimbangan terlihat jelas dalam raut wajahnya. Ia lalu bangkit dari duduknya dan menelphon temannya. Mungkin ia menanyai temannya apa makanan yang harus di beli. Sembari menelphon ia terkaget pada sebotol caramel yang terpampang padaku.
“Bu. Saya mau…………………… 1 bakso dan 30 bungkus rujak ini” kata gadis itu
“Baiklah dek.. saya bungkuskan rujak dan baksonya” jawab Bu Bakso sambil tertawa
Aku pun menatap Gerobak Bakso dan kami tertawa bersama di Taman Pemda Wonosari siang itu.
***
Comments
Post a Comment
be leave a comment